DARI KYAI KAMPUNG KE NU MIRING - Aneka Ragam Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru Rp. 50.000,-
PEMESANAN
085756777030
|
Judul | DARI KYAI KAMPUNG KE NU MIRING - Aneka Ragam Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru |
No. ISBN | 9789792547535 |
Penulis | Acep Zamzam Noor |
Penerbit | Ar-Ruzz Media |
Tanggal terbit | 2010 |
Jumlah Halaman | 248 |
Berat Buku | - |
Jenis Cover | Soft Cover |
Dimensi(L x P) | - |
Kategori | Seri Rubrik Wacana MuNU |
Bonus | - |
Text Bahasa | Indonesia |
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang paling besar di
Indonesia, NU selalu menarik perhatian banyak kalangan. Ada yang mengkritik
karena keterlibatan tokoh-tokoh NU dalam ranah politik praktis tapi tak sedikit
pula sanjungan datang karena NU dianggap telah lama berkiprah dalam mendidik
dan mengabdi pada masyarakat.
Buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring, adalah kumpulan kritik
mendalam dari orang NU tanpa perasaan malu-malu. Kalau selama ini kritik NU
datang dari kalangan non NU alias outsider yang cendrung menjadikan NU sebagai
obyek kajian, maka dalam buku ini orang NU itu mencoba membedah dirinya secara
lebih telanjang.
Arus utama yang menjadi kegelisaan di kalangan para pemuda NU
adalah kian terkikisnya peran serta NU di kalangan masyarakat kecil. Para elit
NU lebih sibuk mengurusi kursi kekuasaan di banding mendampingi masyarakat.
Hidup dengan masyarakat yang kumuh, bertahlilan bareng, rajin mengimami di
surau atau langgar sudah kalah dengan indahnya kursi kekuasaan. Pesantren yang
dulunya berjalan seiring dengan kesederhanaan masyarakat kini sudah sudah
banyak yang mengandalkan sponsor dan bantuan dari para politisi dan pengusaha
untuk membangun gedung yang megah.
Mujataba Hamdi dengan melihat kondisi keberjarakan antara kiai
NU dan masyarakat dalam tulisan ini mempertanyakan ihwal makna kebangkitan
ulama dalam devinisi NU itu sendiri; makna kebangkiatan itu untuk siapa?
Kebangkitan yang berpihak pada apa ? pada mereka yang congkak oleh harta dan
kekuasaan (mustakbirin) atau pada mereka yang dilemahkan atau dikebiri
hak-haknya (mustadh’afin) ?
Pertanyaan itu bukanlah hal baru, tapi hanya sebagai teguran
bagi kalangan tokoh NU yang telah memaknai dan mengimplementasikan kebangkitan
secara salah kaprah, kebangkitan bagi kaum yang berduit dan menjadikan kalangan
mustadh’afin terus dikebiri hak-haknya tanpa ada yang mengadvokasi. Kiai NU
yang menjadi figur masyarakat ketika memegang tampuk kekuasaan seakan lepas
dari nilai-nilai NU Ketokohan dan kealimannya banyak yang telah digadaikan
terhadap penguasa dan pengusaha.
Ada dua istilah untuk Kiai NU saat ini. Istilah “NU Condong” dan
“Condong NU”. Ketika menghadapi situasi masyarakat di Sidoarjo yang tertimpa
lumpur Lapindo, ada para kiai yang dengan sengaja menjadikan label ketokohannya
untuk mempengaruhi masyarakat supaya tetap bersabar atas adanya lumpur dan
bersyukur karena telah diganti rugi. Kiai tipe inilah yang disebut “condong NU”
yang selalu menjadikan dirinya sebagai teman penguasa dan menggadaikan
pembelaannya terhadap kaum mustadh’afin. “NU condong” adalah kebalikannya.
Penyakit akut yang menimpa tubuh NU lebih dominan “condong NU”
Mereka banyak yang menjadikan NU hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Pesantren banyak didirikan hanya untuk mencitrakan
diri. Pengajian agama terus digalakkan untuk sosialisasi dirinya demi
kepentingan pencalonan politik di masa akan datang.ujung-ujungnya ketika menjadi politisi tak ada
bedanya dengan mereka yang tidak pake’ qunut hinga mereka yang tidak sholat
sekalipun. NU pun kehilanagna spirit sebagai pembela kaum mustadh’afin.
Padahal jati diri Kiai NU jauh dari pencitraan yang hanya
sekedar mencari muka untuk kepentingan sesaat. Orang, meminjam bahasanya Acep
Zamzam Noor, yang menguasai ilmu agama, lulusan pesantren, atau anak kyai yang
selalu berpakaian seperti pangeran diponegoro belum tentu layak disebut kiai.
Kiai bukanlah orang yang menyelesaikan tahap pendidikan tertentu dan bukan
warisan turun-temurun keluarga, melainkan semacam anugrah yang diberikan
masyarakat pada seseorang karena kealiman, pengabdian, serta mutu
pengabdiannya.
Bagi Acep Zamzam Noor, “Kiai kampong”. Kiai NU yang sebenarnya
bukanlah mereka yang selama ini sibuk berpolitik, tapi mereka yang selama ini
mengabdi pada masyarakat, baik itu melalui surau kecil atau pun pesantren apa
adanya tanpa pamrih. Kiai NU yang sebenarnya bukanalah mereka yang berteriak
dari panggung ke panggung layaknya selebritis untuk minta dihormati dan
dipilih dengan mengatasnamakan agama sebagai kedok perjuangan, tapi mereka yang
selama ini mengopeni masyarakat dengan penuh sahaja dan tanpa minta pujian.
Nyaris kalau membaca beberapa tulisan yang terkumpul dalam buku
ini seakan kita optimis ihwal masa depan terpeliharanya tradisi dan kultur NU
selama masih ada Kiai kampung. Kiai kampung yang tidak peduli dengan jabatan
itu menjadi penyelamat terpeliharanya kultur dan spirit NU sebagai organisasi
kemasyaraatan yang selalu tetap konsisten dalam melakukan pendampingan dan
advokasi bagi kalangan mustadh’afin.
Rasa
optimisme itu juga memunculkan kritik pedas yang tanpa aling membelejeti
kalangan tokoh NU yang selama ini telah menyimpang dari kultur NU, terutama
mereka yang selama ini sibuk berpolitik. Untuk itulah buku ini akan menjadi
menarik karena disela-sela rasa optimisme juga muncul rasa pesimisme yang
mendalam sehingga memunculkan banyak kritik pedas yang dilakukan oleh beberapa
kalangan NU muda; baik itu anak Kiai atau pun mereka yang selama ini aktif di
organisasi NU.
Bagi yang berminat pada buku DARI KYAI KAMPUNG KE NU MIRING; Aneka Ragam Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru, kami melayani
paket order. silahkan hubungi no. kontak 085756777030
Selamat membaca..
0 komentar:
Posting Komentar