SATU ISLAM RAGAM EPISTIMOLOGI; Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme Rp 70.000 PEMESANAN 085756777030 |
Detail Buku
Judul | SATU ISLAM RAGAM EPISTIMOLOGI; Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme |
No. ISBN | 978-6022-2933-85 |
Penulis | Aksin Wijaya |
Penerbit | Pustaka Pelajar |
Tanggal terbit | Mei - 2014 |
Jumlah Halaman | 394 |
Berat Buku | - |
Jenis Cover | Soft Cover |
Dimensi(L x P) | - |
Kategori | Edisi Pendekatan Studi Agama |
Bonus | - |
Text Bahasa | Indonesia |
Berangkat dari keyakinan bahwa Islam bersifat tunggal karena
datang dari Dzat Yang Maha Tunggal, Penulis merasakan kegelisahan akademis
ketika menemukan fakta di lapangan bahwa ternyata umat Islam terbagi menjadi
sangat beragam. Dari penemuan itu, penulis berusaha untuk melacak faktor
penyebab Islam bisa diaktualisasikan dengan ragam cara yang begitu luas
tersebut, yaitu dari segi epistemologinya.
Pembacaan penulis terhadap aspek epistemologi menjadi
penting mengingat ia akan menjadi landasan dasar bagi pijakan setiap ilmu
pengetahuan, maka aneka wajah Islam yang tampak hari ini tidak bisa dilepaskan
dari epistemologi pemikiran yang menjadi pondasinya. Oleh karena itu, penulis
melanjutkan penelusurannnya terhadap aneka ragam epistemologi Islam tersebut dan
menyuguhkan hasilnya untuk sidang pembaca buku ini.
Membaca buku ini, pembaca akan merasa seperti membaca
kaleidoskop pemikiran Islam dari masa ke masa. Paparan dalam buku ini diawali
dari persentuhan pemikiran Islam dengan filsafat Yunani, yang mula-mula dibawa
oleh al-Kindi. Dalam generasi pertama – yang terdiri dari oleh al-Kindi,
al-Farabi, dan Ibn Sina, pemikiran Islam berkarakter epistemologi peripatetik
emanasionis. Dalam epistemologi ini, sumber pengetahuan berawal dari Tuhan
sebagai “Akal Pertama” atau “Sebab Pertama” yang kemudian beremanasi pada “akal
kedua”, kemudian pada “akal ketiga”, dan seterusnya. Secara umum, epistemologi
ini menjadikan unsur metafisik sebagai prioritas filsafatnya.
Dari pemikir abad berikutnya, penulis kemudian menampilkan
pergumulan yang penuh hiruk-pikuk antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Dalam
pemikirannya yang berkarakter tasawufi, al-Ghazali menggunakan epistemologi
berbasis keraguan. Seseorang bisa mendapatkan pengetahuan, jika ia memiliki
keraguan sebagai pondasinya. Sedangkan “kawan” debatnya, Ibn Rusyd, melahirkan
konsep epistemologi peripatetik teleologis. Berbeda dengan karakter emanasionis
yang “menurun ke bawah” sebagaimana dirumuskan oleh angkatan sebelumnya,
teleologis justru “menanjak ke atas”. Dari meneliti alam secara indrawi untuk
menemukan Tuhan yang metafisis, atau dari realitas empiris untuk menemukan yang
universal.
Selanjutnya, Aksin mendeskripsikan juga epistemologi yang
lahir dari tradisi Syi’ah sebagaimana Syuhrawardi dengan epistemologi
iluminasinya, Mulla Shadra dengan transendentalnya, dan Mehdi Ha’iri Yazdi
dengan ilmuninasi empirisnya.
Dalam konteks dinamika pemikiran tanah air, penulis juga
menampilkan cendekiawan Indonesia, Nurcholis Madjid dengan epistemologi
sekularisasi Islam. Gagasan Cak Nur ini berangkat dari keadaan muslim di
Indonesia yang tampaknya tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang asli
dengan tradisi Islam yang lahir dari panggung sejarah. Dengan pemikirannya itu,
Cak Nur menawarkan adanya pemisahan antara nilai-nilai yang seharusnya menjadi
wilayah hukum Islam dan wilayah manusia sendiri.
Terhadap gagasan sekularisasi itu, Naquib al-Attas,
cendekiawan Malaysia kelahiran Bogor, justru menawarkan hal sebaliknya:
Islamisasi pengetahuan. Dalam hematnya yang didukung juga oleh al-Faruqi,
Ziauddin Sardar, dan Mulyadi Kartanegara, pengetahuan secara global harus
disortir. Mana ilmu-ilmu yang sejalan dengan Islam, dan mana yang kurang atau
tidak sesuai. Terhadap ilmu yang kurang atau tidak sesuai dengan Islam
tersebut, perlu dilakukan proses Islamisasi agar bisa digunakan oleh orang
Islam.
Seolah menjadi sintesis terhadap dua kubu sikap terhadap
hubungan ilmu/masyarakat umum dan Islam/agama tersebut, muncullah gagasan
Abdurrahman Wahid. Kali ini, Gus Dur menawarkan epistemologi yang merupakan
bagian dari bangunan lengkap: universalitas Islam, kosmopolitanitas Islam, dan
berujung pada pribumisasi Islam. Dengan pribumisasi, Islam bisa menjadi lebih
mudah merangkul dan dirangkul oleh semua kalangan. Uniknya, menurut Ahmad Baso,
sejatinya Gus Dur justru lebih tegas dalam menggagas sekularisasi dibandingkan
Nurcholis Madjid.
Dalam dasawarsa terakhir, dalam lingkungan masyarakat
akademik PTAIN di Indonesia, juga lahir “madzhab” epistemologi Islam, khususnya
terkait dengan hubungan ilmu-ilmu agama dan dirgama. Dari UIN Yogyakarta, lahir
gagasan integralistik-interkonektif dari Amin Abdullah yang bisa diilustrasikan
dalam sketsa “jaring laba-laba keilmuan” karena melihat lemahnya peran
ilmu-ilmu agama dalam masyarakat secara luas. Dari UIN Malang, lahir juga
gagasan “pohon keilmuan “dari Imam Suprayogo yang menekankan perlunya al-Qur’an
dan Hadits diposisikan sebagai sumber ilmu pengetahuan di perguruan tinggi,
bukan lagi sekedar sebagai obyek kajian dalam fakultas saja.
Ala kulli hal, aneka ragam epistemologi tersebut lahir dari
rahim yang sama, Islam. Meskipun di sana-sini ada banyak perbedaan pendapat
yang telah dirumuskan oleh para filsuf epistemolog di atas, sejatinya mereka
memiliki tujuan yang sama: menjadikan agama Islam lebih baik lagi bagi
kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika kemudian
Aksin menawarkan terobosan baru – yang oleh Ahmad Suaedy (dalam pengantar buku
ini) disebut sebagai “landasan pacu”, yakni epistemologi Islam yang berbasis
pada antroposentrisme. Dengan demikian, tujuan kemaslahatan umat manusia bisa
menjadi lebih tercapai.
Bagi yang berminat pada buku SATU ISLAM RAGAM EPISTIMOLOGI; Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme, kami melayani paket order. silahkan hubungi no. kontak 085756777030
Selamat membaca..
0 komentar:
Posting Komentar